Thursday, February 4, 2010

Stasiun Nganjuk

Panasnya terik matahari hari ini, tampaknya sang matahari tak malu malu lagi menyombongkan aroma panas dari jarak berjuta juta kilometer jauhnya, tampaknya ia sudah bosan bersembunyi dari balik awan tebal yang telah menutupinya selama beberapa hari terakhir ini, dan tampaknya sang hujan pun telah kelelahan membasuh kulit bumi yang tak henti hentinya menjerit karena ulang dan tingkah manusia. tanah, kulit bumi yang telah lama dimanjakan oleh rindangnya pohon pohon kini telah berubah menjadi bongkahan batu batu cantik yang membentuk gedung dan rumah rumah, namun apakah bumi menyukai hal ini? Matahari semakin mantap saja menyombongkan aura panasnya, seakan akan ingin menyiksa bumi yang telah kehilangan perisainya, kehilangan kecantikannya, kehilangan hijaunya, dan tiba tiba “JEZZZZZZ, JEZZZZZZ, GRUDAK! GRUDAK GRUDAK!!!” onomatopoeia kereta eksekutif yang lewat di stasiun sederhana ini, Stasiun Nganjuk. Stasiun tua yang hanya dikunjungi oleh kereta kelas ekonomi, kawan seperjuangan si Stasiun. Dari kayu kayu penopang pilarnya sudah tampak tua dan keriput menggambarkan betapa stasiun ini tak banyak dimanja manja,  betapa stasiun yang dulu dibangun sekecil ini sekarang telah beranjak tua.
Salah satu tiang yang terpancang di stasiun ini terlihat berbeda dari yang lainnya. Seorang gadis berparas cantik duduk jongkok bersandar pada pilar yang renta ini. Wajahnya tampak gelisah dan murung, tak ada hentinya ia memandangi jam tangannya, jam tangan Alexandre Crhristie hadiah dari kekasihnya. disampingya ia meletakkan sebuah tas ransel yang berisi pakaian pakaianya, dan ditangannya ia menggenggam sepasang tiket kereta lawas yg ia simpan sejak tiga tahun lalu, tertanggal 23 Januari 2006. Tertulis di tiket itu “KA MATARMAJA tujuan JAKARTA TANPA TEMPAT DUDUK”. Ia tetap bersandar, dan untuk beberapa kali, angin sempat berhembus membelai rambutnya yang terkulai bebas di pundaknya, angin itu seakan akan ingin mengungkap dan membuka paras cantiknya yang tertutup oleh mahkota rambutnya. Sudah hampir sejam gadis itu berada disana, ia masih saja tak mau beranjak dari tempatnya walaupun sekarang matahari telah merangkak lebih tinggi dan membuat kaus tipisnya basah karena keringatnya yang diperas oleh panas matahari yang seolah ingin menyinarinya leebih dekat.

“JEZZZZZZ, JEZZZZZZ, GRUDAK! GRUDAK GRUDAK!!!” kereta pengangkut bahan bakar lewat menghampiri stasiun kecil ini, keduanya tampak saling sapa dalam bahasa yang tak dikenal, mungkin bahasa kereta api. Gadis itu pun tak tahu bahasa yang mereka gunakan, dia bahkan tak tau kalau kereta bahan bakar itu sedang menyapa stasiun tua ini. Gadis itu hanya terdiam, pikiranya melayang entah kemana, ia mengeluarkan handphone nya, sony ericsson tipe terbaru yang masih mulus terbalut sarung imut. Ia menengok sejenak kedalam HP itu, berusaha melihat sms yang masuk, namun HP itu tak sepintar penampilanya, HP canggih itu responnya sangat lambat sekali seperti HP yang terbelakang. Gadis itu tak sabar, ia menekan keypad HP itu dengan tak sabar berkali kali, namun tetap si cantik mungil itu tak merespon. Gadis yang dari tadi telah terbakar oleh sinar matahari itu membantingnya “Dasar HP Sialan!!!”,.. lalu “CRAKKK!!” hp itu terbanting diatas lantai kasar stasiun,  terpecah menjadi tiga bagian, tergeletak lemas di tanah. Gadis itu diam untuk beberapa saat, ia memandangi HP yang telah dibantingya, ia memandangi HP cantik pemberian kekasihnya ygn sekarang sudah terpecah belah. Gadis itu melihatnya dengan rasa sesal, dan ia memungutnya kembali, memasangnya dan menghidupkannya.

Nampak foto seorang pria bersamanya di wallpaper HP itu, gadis itu diam, memandangi wajah lelaki yang ada di HP nya, baru beberapa detik ia memandangi sesosok pria muda itu, setetes air mata merangkak dari kelopak matanya, melewati lekung matanya, lalu pergi ke lereng hidungnya, membasuh pipinya dan menyatu dengan keringat yang ada di dagunya, bersamaan dengan itu butir butir air mata lain menyusul dengan derasnya. Ia membersihkan HP pemberian kekasihnya itu dengan kaosnya, mengelapnya baik baik dan memperlakukan benda kecil itu seakan akan sebuah pusaka  abadinya. Gadis itu masih hanyut dalam kesenduanya semakin laru dan semakin dalam,

“JEZZZZZZ, JEZZZZZZ, GRUDAK! GRUDAK GRUDAK!!!”

Jam dinding stasiun menunjukkan waktu telah berjalan begitu cepat menuju pukul 5 sore, ketika matahari sudah menjadi lebih ramah kepada bumi bagian sekitar Indonesia, ia telah meredupkan cahanyanya tanda ia mengijinkan manusia manusia pekerja untuk pulang kembali kerumah, ke pelukan sanak keluarganya. Namun tidak untuk Gadis ini, ia masih setia menunggu hadirnya seseorang di salah satu tiang di stasiun tua ini, masih saja berharap. Ia tak pernah sedikitpun lagi melirik jam stasiun atau jam tangan nya, seakan akan ia telah ingat bagaimana jarum jam berdetak di saat saat seperti ini, gadis itu memandang ke depan tanpa ragu sedikitpun, ia tak berkedip sama sekali walaupun angin telah meniupkan dirinya, ia tetap menatap kedepan, dengan pandangan kosong namun ia berhenti pada suatu titik, pada suatu dimensi, dimensi waktu dimana ia kembali ke masa itu, di tempat yang sama, di stasiun ini. Ia memejamkan matanya, hatinya menghitung mundur detak jam yang sedang menuju ke angka 12 untuk menyempurnakan waktu pukul 5 sore, ketika jam ini berdentang dengan kerasnya. Sebuah rasa yang meluap dari tubuhnya membuat tubuh gadis ini mengembang seakan akan ia akan berubah menjadi sebuah monster. Nafasnya begitu cepat layaknya sebuah lokomotif yang sedang melaju begitu cepat, ia mengunci matanya, seakan ia tak kuat melihat apa yang akan terjadi di pukul 5 sore sebentar lagi, nafasnya semakin cepat semakin cepat seperti pompa compressor, begitu cepat begitu cepat, wajah gadis ini memerah, telah sampai ia apada puncak perasaannya, perasaaan marah dan juga sesal yang telah terpendam selama 3 tahun ini.

 “JEZZZZZZ, JEZZZZZZ, GRUDAK! GRUDAK GRUDAK!!!”
dan gadis itu berteriak bersamaan dengan lewatnya kereta eksekutif di stasiun itu “AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRRRRHHHHHHHHHGGGGG!!!!!!!!!!!”
teriakanya mengiringi laju kereta itu, ia berteriak dengan histeris sampai kereta itu tak lewat lagi di stasiun ini. 
Kereta eksekutif itu telah beranjak jauh dari stasiun itu, ia nampak sudah tak terlihat lagi, hilang ditelan oleh tikungan dan pohon pohon di sekitar sawah. Gadis itupun beranjak, ia berdiri, mengelap air matanya, ia keluarkan setangkai bunga Lily, bungan kesayangan pria di wallpaper HPnya. Ia meletakkan bunga Lily itu diatas selembar koran yang ia simpan selama ini. dan Gadis itupun pergi, mengelap air mata yang telah tercucur deras di pipinya, ia mengeluarkan selembar tissue dan kemudian pergi entah kemana.
Gadis itu tak ada lagi di pilar terakhir itu, Stasiun tua ini pun kehilangan keindahanya, stasiun ini seakan akan kembali menjadi stasiun tua yang telah lama tak terawat. Bunga lily yang ditinggalkannya tertiup angin dan bergulir jatuh ke lintasan rel kereta, sudah pasti bunga itu akan hancur terlindas oleh kereta yang lewat. Dan koran yang ia letakkan sebagai alas bunga itu tetap tergeletak disana, hingga ia tertiup oleh angin yang lebih kencang sehingga ia terhambur hamburkan melayang layang sesuai angin yang membawanya. Diantara tulisan yang ramai dan berdesak desakan di koran itu, tertulis di sekitar pojok kanan bawah koran yang tertanggal 24Januari 2006 itu “Seorang pria tewas ditabrak kereta api eksekutif di Stasiun Nganjuk pada pukul 5 sore…..”
(sebuah imaji)