Thursday, February 4, 2010

kereta ke Surabaya

Jarang sekali kuhirup udara pagi sesejuk ini. Ya, sudah lama aku melewatkan pagiku dalam belaian mimpi dan tak kusadari betapa Tuhan menciptakan pagi yang seindah ini, seindah embun yang menempel pada dedaunan yang membuatnya seperti besi cermin cermin kecil yang memantulkan cahaya emas matahari di pagi hari, cahaya yang menandakan awal dimulainya pagi ini, cahaya hasil dari sinar yang tersaring oleh filter-filter awan dan paduan refleksi dari bara api bintang besar sumber kehidupan dan juga hasil gradient yang tercipta dari pantulan sinar yang menerpa awan kelabu pagi ini. Betapa aku telah melewatkan sejuta keindahan di pagi-pagi sebelumnya yang telah kulewati. Betapa aku telah melewatkan tampilan yang lebih menarik daripada best picture film film dari Hollywood. Keindahan itu tampak nyata seperti gambar 3 dimensi yang terpampang jelas di mataku. Tekstur gunung-gunung terlihat jelas seakan akan aku melihat orang beraktifitas disana. Rasanya kata “indah” tak cukup untuk melukiskan betapa agungnya karya desainer alam semesta Itu. Kulanjutkan perjalananku sambil menghirup nafas dalam dalam dan melihat Arjuna bersanding di samping Anjasmara.
Kereta itu menuju ke Surabaya, aku menyebutnya kereta ekonomi, dimana banyak faktor ekonomi sangat berhubungan erat dengan kereta ini. Mungkin yang pertama, karena tiket kereta yang hanya seharga nasi sebungkus, dan juga harga nasi sebungkus di kereta ini yang harganya cuma separuh dari harga nasi biasa. Bolehlah aku menyebutnya “pasar gerbong” karena aktifitas menyambung hidup dengan segala cara dagang banyak terjadi di tujuh gerbong yang diseret oleh masinis dengan mesin perkasanya di depan. Segala macam perdagangan barang ataupun jasa tentunya dengan dunia yang lebih keras ada disini. Buku SD, buku cerita wali songo, buku gambar dan mewarnai, segala macam makanan yang entah tahun berapa dirilis, mainan anak anak, peralatan rumah tangga, dan juga para penjuat jasa seperti pengamen dan penyapu gerbong pun tak ketinggalan disini. Dia, mereka, sekelompok musisi yang sempat mampir ke gerbong ini, bolehlah kusebut dia dengan istilah “musisi” dan “berbakat”. Kusebut mereka “musisi” karena memang mereka adalah pelantun lagu khusus di gerbong kereta,dan kusebut mereka “berbakat” karena memang bakat mereka melantunkan lagu sehingga tak seorangpun melewatkan atau tak mendengarkan lagu itu, haha ya, rahasia utamanya adalah sebuah bas cetol berukuran raksasa dan ketipung dangdut yang menghentakkan nada nada seakan akan palu besar memukul keras dada. Setiap jentikan jari dari si musisi akan membuat orang yang tertidur pulas terbangun seketika dan suara parau yang melantunkan lagu yang kira kira judulnya “maafkan” itu terdengar keras dan sedikit fals “maafkan dakuuu,….” Aku tak tahu apa isi lirik lagu ini, apakah mereka meninta maaf karena telah menghentakkan palu besar tepat di dada para peunmpang atau mungkin itu hanyalah sebuah lagu. Gitar akustik yang tampak tua dipetik dengan sekuat tenaga agar setelan gitar yang fals itu cukup nyaring terdengar untuk memanggil para penumpang dari alam mimpinya. Tampak beberapa baris gitar terlihat keropos dan hampir hancur karena si gitaris menggunakan kunci gitar yang monoton dan itu itu saja sehingga baris depan gitar keropos, aku yakin dia banyak menggunakan kunci C, kunci andalan lagu dangdut. Satu lagu mereka bawakan dan untuk santapan akhir adalah bungkus permen bekas yang dibalik sehingga bagian dalam bungkus berada di luar dan memberikan warna almunium itu mereka goyang goyangkan di setiap bilik bangku dan mengeluarkan bunyi “kricik kricik” bunyi yangbersifat pragmatis yang mengajak para penumpang untuk sama sama mengisi bungkus permen yang kemudian akan mereka bawa pergi, tak ada duit rokok pun jadi. Mereka pergi meninggalkan kenangan hebat di telinga para penumpang, lagu yang mereka bawakan barusaja memberikan secangkir obat anti tidur dan obat anti penat, dan hasilnya, 90 kilometer kutempuh tanpa tidur.
Keluar dari stasiun terahir kota Surabaya, aku disambut oleh sekelompok musisi ber genre lain. Tampak bapak napak yang lebih senior menampilkan kehebatan mereka dalam bermusik menggunakan peralatan band yang kukira tak sebanding dengan keahlian mereka. Drum set berumur jutaan tahun dan juga gitar listrik yang tampak renta dan jelek karena sering diservis dan dipaksakan dan juga saxophone yang warna kilapnya tak lagi terlihat, mendampingi mereka dalam sebuah lagu klasik yang menyapa para penumpang seakan akan mengucapkan “selamat datang” di Surabaya. Kalau boleh aku mau menyebut mereka “senior band”, atau “lansia band”, atau juga “jompo band” jika melihat personilnya secara fisik, namun ketika mendengarkan alunan lagu yang mereka bawakan dengan merdu dan syahdu dengan kombinasi ketukan drum yang slow namun sempat membawa diriku melayang dan juga petikan gitar yang sempat membuat mataku terpejam sekaligus alunan halus dari saxophone butut yang bisa menyeretku kembali ke masa masa tahun 80an, bolehlah kusebut mereka “Bon Jovi Surabaya” yang terdampar di sebuah sudut kecil di stasiun Surabaya ini. Hidup mereka ditentukan oleh sebuah kotak kaleng berlapiskan kain hijau yang menjadi media tempat penyaluran rasa simpati atau rasa kagum orang orang kepada music yang mereka bawakan.
Aku berjalan, menjauhi mereka, menuju kereta, kembali ke Malang, selamat tinggal Bon Jovi Surabaya, maaf, aku lupa memberikan uang dua ribu rupiah yang ada disakuku, mungkin lain kali. Aku pasti datang lagi.
(sebuah refleksi)