Monday, February 15, 2010

Ruang Tunggu


Cuaca di musim terik hari ini tak seperti biasanya, awan tampak menumpuk tebal di atas langit, dan semua warna warna dedaunan hijau, pohon, jalan raya, tembok, lampu merah, tampak sayu, seperti warna aura wajahku yang tenggelam dalam ikut tenggelam dalam cuaca hari ini. Sungguh ironis, walau matahari kali ini enggan mewarnai aspal di jalan raya, hari ini terasa bumi tertumpuk oleh warna kelabu, jalan raya dan pepohonan yang menghiasinya seakan akan murung bersedih. Hari ini aku serasa memakai kacamata berwarna abu abu, atau kota Malang yang indah ini hanya terlihat berwarna hitam putih, suram!, retina matakau hanya menangkap dua warna itu, seakan hari ini mataku telah diatur dengan mode grayscale, telingaku seakan tak mampu mendengar suara mesin mesin kendaraan, suara klakson yang berdering keras disekitarku, hanya terdengar di telingaku, sepintas suara hiruk pikuk manusia yang tergesa gesa karena ruanya hujan akan segera menyapa, membasahi kulit bumi yang telah lama dijemur, kering kerontang. namun kurasa, hujan ini tak datang untuk membasuh, mungkin langit sedang menangis. Dan aku hanya duduk disini, di salah satu bangku tunggu di Stasiun Kotabaru.

Aku memandang keluar, melewati sebuah kaca jendela pintu ruang tunggu ini. Kaca hitam itu seakan adalah filter yang membuat mataku semakin tak sanggup menangkap warna warna indah kota yang sejuk ini, semua di luar jendela itu nampak semakin kelabu, sayu. 15 menit sudah aku tenggelam dalam suasana kosong itu, disebelahku duduk seorang gadis berambut ikal berkulit dengan sebuah koper beratnya. Aku sesekali menatap paras wajahnya, sempat kulihat ia menengok ke jam tangannya lalu pandanganya beralih ke jam dinding ruang tunggu, sepertinya ia mencocokkan waktu di jam tangannya dengan jam dinding di stasiun. Beberapa kali ia mengeluarkan HP nya, mengetik sms, menerima telepon, dan berbicara tentang keberangkatannya ke Jakarta. Ia sama sepertiku, sedang menunggu kedatangan kereta menuju Jakarta. Ia nampak cantik dengan baju coklat tipis yang ia kenakan, mungkin ia salah memprediksi suaca hari ini, aura panas matahari nampak tak muncul, hanya angin sepoi sepoi dan gumpalan awan yang menutup sempurna permukaan bumi sehingga langit tak tampak dari kota ini. Raut wajahnya juga tak jauh berbeda denganku, murung, layu kelabu, kereta menuju Jakarta ini nampaknya yang telah mengahapus segala warna warni kota ini.

Suara klakson kereta api berbunyi dengan kerasnya menarikku dari dimensi yang begitu jauhnya kembali lagi ke sebuah sudut ruangan ini. Sedari tadi aku menggenggam tangan gadis di sebelahku. Klakson kereta tadi seakan membangunkan kami berdua dari sebuah mimpi kelabu dan membawa kami ke sebuah realita yang mungkin akan terasa lebih kelabu. Gadis itu bangkit, menarik tanganku seakan mengajakku besertanya. Aku membereskan tas bawaanya, kemudian dia menarikku, memelukku dengan erat. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya semenjak kemarin, semenjak dia, mungkin juga aku, sadar bahwa kita akan berada di tempat ini hari ini, tempat yang pasti akan kita datangi setiap enam bulan, dan setiap hari raya akan datang. Ia membisu, ia memandangku ragu, seakan tak kuasa merasakan ledakan dari dalam dirinya, begitu juga aku. Dan sepatah kata pertama, dan terahir di hari ini keluar dari bibir mungilnya “aku pulang dulu ya”, bibirku serasa terbius oleh kata kata itu, terpaku seperti bibir beton yang tak mungkin tergerak, entah dari bagian mana dari tubuhku keluar suara “iya” yang kurasa aku tak mengucapnya sama sekali, suara itu tiba tiba keluar entah darimana, seakan aku merelakanya. Aku menciumnya, dan ia berpaling menuju sebuah pintu bertuliskan “pintu masuk”. Dibalik pintu itu adalah dimensi lain, dimensi yang membawanya ke sebuah tempat lain yang tertulis di tiket keretanya, Jakarta. Dia pergi ke arah pintu itu, tanpa menoleh, dan aku melepasnya disini, dimensi abadi dan hampa bernama “Ruang Tunggu”.