Friday, February 5, 2010

angkot, dan seorang ayah


Sekitar 7 tahun lalu, ketika aku masih duduk di bangku SMP, ketika aku masih menggunakan transportasi umum berwarna biru yang disebut angkot, ketika itu ongkos anak sekolah masih seharga 500 rupiah dan setiap sore sepulang sekolah aku selalu menunggu angkot di depan gang sekolahku. Aku melihat tampak seorang supir angkot separuh baya, kira kira berumur 40 tahun, dengan polo shirt nya yang warna putihnya sudah termakan debu karena sudah seharian dipakai bekerja, dan handuk kecil yang terkalung di lehernya. Para sopir angkot yang biasanya terburu buru mengambil penumpang untuk segera mendapat hasil “narik” harian mereka ini tampak gelisah mengamati gerombolan anak sekolah yang keluar dari gang, dia gelisah, mengamati tiap tiap gadis yang keluar dari gang itu dengan kernyit wajahnya yang berkeringat dan bau badan yang kecut dan tak sedap. Namun dia berusaha tampil rapi, sesekali dia membersihkan kotoran di wajah dan bajunya seolah olah dia menunggu seseorang keluar dari gang itu dan mengajaknya menaiki angkot yang tak begitu mewah. 

Aku berjalan masuk ke angkot itu sambil kutanya “gadang pak?” dan bapak itu menjawab “oh, iya mas.. monggo”. Aku duduk di belakang. Sopir itu Nampak sudah putus asa, dia kembali masuk ke bangku kekuasaanya. Bangku angkot itu telah hampir penuh, dan sesuai kebiasaan, jika bangku angkot sudah hampir penuh, si sopir harus segara berangkat atau para penumpang akan marah. Tiba tiba seorang ibu datang ingin menaiki angkot tersebut, yang tersisa adalah bangku depan. Si ibu bertanya pada pak sopir “gadang pak?” perhatianya pada gadis gadis SMP itu teralihkan dan dia menjawab “inggih bu, tapi sampun penuh, niki nunggu tiang” (iya bu, tapi sudah penuh ini saya sedang menunggu seseorang). Kusadari dia menyediakan bangku depan itu untuk seseorang, walaupun biasanya bangku depan itu bisa diisi oleh dua orang, namun dia tak mengijinkan seorangpun menempati bangku depan yang dianggap bangku istimewa karena tempat duduknya yang nyaman. Pak sopir itu hampir putus asa, dia sempat menundukkan kepalanya. Dia diam sejenak sampai seorang penumpang menegurnya “Pak, iki sido budal opo gak? Aku tak golek angkot liyo ae! Kesuwen!” katanya dengan nada tinggi, pak sopir kaget dan menjawabnya dengan halus “sepuntene pak nggih, kulo ngantosi tiang”. Lalu si penumpang itu meninggalkan angkot itu. Pak sopir semakin putus asa, sudah ada kira kira lima penumpang meninggalkan angkot itu, tinggal hanya 6 orang termasuk aku disana, karena aku tidak sedang keburu waktu, kuhabiskan saja waktuku di angkot itu, namun aku juga sedikit kesal karena angkot ini tak kunjung bergerak. Sempat kulihat paras si sopir, dia masih mengaharapkan kehadiran seseorang yang telah ia tunggu dari sejam yang lalu.

Aku, serta beberapa penumpang lainya Nampak sudah lelah karena menunggu, sampai akhirnya kulihat senyum merekah dari wajah gelisah itu. Si sopir turun dari bangkunya menyambut segerombolan gadis SMP yang berjalan keluar dari gang menyebarangi jalan. Pak sopir itu mendatangi salah satu gadis diantaranya dan memberikan senyum haru kepadanya. Pakaian gadis itu basah kuyup dan terdapat beberapa kotoran di rambutnya. Si sopir memberikan handuk yang ia kalungkan di lehernya kepada gadis itu untuk membersihkan kotoran di tubuhnya. Dia membukakan pintu bangku depan, bangku spesial dambaan para penumpang, pak sopir itu terlihat haru dan gembira sekali solah olah dia bertemu idola besar yang menjadi kebanggaannya. Dia mempersilahkan gadis itu duduk, lalu dia mengucapkan terimakasih pada teman teman gadis itu yang tadi berjalan bersamanya “terimakasih ya mbak,.. terimakasih sekali”. Dia lalu menjalankan angkotnya. Sempat aku bertanya tanya untuk apa si sopir berterimakasih pada anak anak SMP itu. 

Di perjalanan kutemukan jawabanya, dia mengajak ngobrol para penumpang yang sabar menunggunya, dia berkata “matur nuwun mas nggih, mbak, niki wau ngenteni anak kulo niki, sakniki ulang tahune” (terimakasih mas, mbak, ini tadi menunggu anak saya, hari ini dia ulang tahun". Oooo, ternyata gadis itu adalah anaknya, dan ternyata ia basah kuyup dan kotor karena dia mungkin disiram oleh teman temanya sebagai tanda perayaan ulang tahunya. Tak lama kemudian dia bercerita bahwa gadis itu adalah anak kandungnya yang sejak SD diadopsi oleh orang lain karena pak sopir tidak kuat membiayai sekolahnya, dia menyetir sambil bercerita dengan nada menyesal, sedih, dan rasa hampa seakan karena keterbatasanya yang mengakibatkan perpisahan dengan anak tercintanya, sempat kurasakan aroma kehampaan dalam nada ucapanya, seakan dia merasa tak mampu menyentuh bintang harapan satu-satunya yang paling dia cintai. Dia bercerita terus tentang masa lalunya dan ia sempatkan beberapa kali untuk membelai rambut anaknya, sambil memandang wajah malaikat kecil itu dengan penuh rasa sayang dan haru, kulihat matanya yang hampir meneteskan cairan luapan emosinya dan luapan kebahagiaanya. 

Pak sopir itu memberikan tumpangan gratis pada para penumpang, ia tak menerima ongkos dari para penumpang dan sekali lagi mengucap “terimakasih banyak” pada setiap penumpang yang turun. Kulihat ada secercah cahaya di bangku depan angkot tersebut, kuliat seakan akan ada pelangi indah di baris depan itu, pelangi yang ujungnya jatuh pada si bapak dan si anak, pelangi yang menghubungkan sebuah perasaan indah dari sang ayah ke anak tercinta yang tak mampu ia peluk tiap hari, rasa sayang seorang ayah yang harus terputus karena sebuah keterbatasan, rasa sayang seorang sopir yang kehilangan anaknya selama bertahun tahun, rasa sayang yang telah terpendam selama setahun dan baru dapat ia ungkapkan selama sehari ini, di hari ulang tahun anaknya.

Dan aku pun turun, tepat di depan rumah, pak sopir melemparkan senyum nya padaku dan sekali lagi berkata “terimakasih banyak ya mas” setelah kata itu berkali kali ia ucapkan pada penumpang yang lainya. Dan angkot itu pun pergi, membawa sesosok anak yang sedang merayakan ulang tahunnya, dan sesosok seorang ayah.



(sebuah refleksi)