Saturday, October 11, 2014

Ruang Antara: (Ke)manusia(an) dan Sang Liyan dalam ENCOUNTERS

Sebetulnya, karena beberapa minggu ini saya telah, sedang, dan masih bergelut dengan masalah pelik mengenai ruang (space), maka saya sempatkan menulis beberapa catatan mengenai ruang pertemuan yang ditawarkan Rony dalam buku fotonya, Encounters.  Awalnya sih dulu ketika pertama menikmati buku foto ini saya cukup bingung dengan metafora visual yang disajikan oleh Rony, karena sebuah pertemuan (yang umumnya lebih bahagia dari perpisahan) ditampilkan seolah-oleh menjadi sesuatu yang mencekam, sangat-sangat asing, misterius, dan menakutkan (yang saya kira adalah efek ‘misteriusisasi’, yang tidak diketahui itu menakutkan karena belum difikirkan antisipasinya)

Saya melihat bahwa beberapa respon ruang mengenai perjumpaan dengan Sang Asing (Liyan)[1] dalam narasi-narasi visual buku foto ini. Pertama yaitu perjumpaan awal dengan Sang Asing ketika keasingan begitu mencekam, kedua ketika Sang asing mulai menampakkan wujudnya, ketiga yaitu ketika Sang Asing bukan lagi sang asing[2].


Chapter pertama bahkan diawali sejak buku ini saya diterima, yaitu ketika melihat covernya. Ancaman raungan mamalia yang menurut Darwin adalah bentuk awal dari evolusi manusia ini cukup menjadi pengusik, penanda akan datangnya sesuatu ‘beyond human control’. Sesuatu yang menghadirkan ketakutan,  karena yang ‘beyond’ adalah sesuatu yang tak dapat dijangkau oleh manusia. Memang tidak digambarkan sebelumnya kondisi pre-encounters, namun dari sini bisa kita lihat perubahan kondisi ruang peradaban manusia yang mulai berubah kelam setelah jatuhnya cahaya dari langit tersebut. Ketidakmampuan manusia (the self) untuk mengenali, mengerti, memahami, atau bahkan ‘menaklukkan’ Sang Asing (other) itulah yang menciptakan suasana ketakutan, keterancaman, dan ketercekaman.

Dalam foto selanjutnya, Rony mencoba memberikan rasa nyaman tentang keberadaan Sang Asing di dunia manusia, meskipun ruang yang ditinggali manusia tak lagi sama, namun kenyamanan hadir ketika Sang Asing digambarkan tidak jauh berbeda dengan manusia[3]. Sang Asing yang beradaptasi merupakan respon terhadap ruang baru, identitasnya tersamarkan, tak lagi berwujud asli. Setelah cukup menghibur dengan berbagai visual yang nyaman itu ia megaskan kembali batas-batas antara sang asing lewat foto pipa besar di pantai, antara manusia dan kekosongan (ketidakberwujudan) dalam bayangan. Bahwa dalam wacana multi-identitas tersebut, masih ada jejak-jejak identitas yang memisahkan antara manusia dan Sang Asing. Seakan mengesankan bahwa masih ada batas-batas yang subtil namun pasti. Antara manusia dan Sang Asing perbedaan itu abstrak. Mereka berada dalam satu ruang dan masing-masing dari mereka saling beradaptasi, berkontestasi, berdialektis dengan ruang tersebut.


Dalam Chapter kedua, yang menjadi titik tolak dari konflik-konflik perjumpaan antara manusia dan Sang Asing adalah foto kaktus berwajah manusia dan seterusnya. Dari foto-foto tersebut seolah Sang Asing mencoba menampakkan wujud aslinya, dan itu merupakan titik tolah sebuah perubahan besar yang akan terjadi. Narasi-narasi yang hadir dalam foto ini bersifat chaotic, kacau, menekankan batas-batas yang telah hancur akibat hadirnya Sang Asing. Tidak seperti foto-foto sebelumnya yang menggambarkan adaptasi dan dialektka ruang, foto-foto selanjutnya menggambarkan perubahan-perubahan yang terjadi karena kehadiran Sang Asing. Lihat saja foto eksekusi manusia, salib patah diantara jemaah yang sedang bersembahyang, ketertundukan manusia (akan entitas yang bahkan tidak hadir[4]), dan erotic yang ‘kosong’ di foto selanjutnya. Sang Asing bisa dianggap menggantikan Tuhan, lihat foto salib yang patah. Dampak perjumpaan manusia dan Sang Asing merusak segala ajaran kepercayaan, mengisaratkan bahwa entitas kekuatan Sang Asing lebih ‘nyata’ daripada Tuhan karena ia telah hadir dan keberwujudan Tuhan masih absen, salib sebagai simbol Tuhan yang ter-rusak-kan.

Chapter ketiga adalah era post-encounters, sebagai dunia baru yang lahir hasil dari persilangan identitas antara manusia dan Sang Asing. Manusia mulai menyatu dengan sang asing, yang seolah menjadikannya tidak asing lagi. Bahkan hal itu dirayakan dengan carnival bersama-sama antara manusia dengan sang asing. Lihat foto manusia yang terjun bersama orang utan, dari foto itu ingat-ingatlah kembali foto monyet yang awalnya menyalak seram pada sampul halaman kini menjadi sangat familiar dengan manusia. Bahkan mereka berpesta bersama, berkarnaval, bersama-sama menceburkan diri dalam air, simbol ketercairan, sebagai ritual penyatuan, pencairan identitas diri antara manusia dan sang asing. yang terjadi dalam foto-foto selanjutnya adalah bersatunya dua entitas, antara manusia dan yang dulunya asing. Bentuk-bentuk bersatunya kedua entitas tersebut nyatanya tidak merubah aura foto-foto Rony yang tetap mencekam dengan hitam, namun malah mengadaptasi kekelaman tersebut dan menjadikannya seolah-olah sebagai kekelaman yang alami, manusiawi. Ruang baru ini membawa kedua semangat dari diri dan sang asing yang bertemu, keterasingan yang familiar.


Yang perlu saya garis bawahi mengenai imajinasi tentang yang asing sebenarnya bahwa ia tidak pernah menjadi asing, atau bahkan sang asing tersebut sebenarnya tidak pernah nyata. Imajinasi-imajinasi manusia akan sang liyan sebenarnya adalah hasrat untuk memenuhkan identitas, dimana keutuhan identitas tersebut tidak akan pernah tercapai. Sehingga kemudian manusia mulai menciptakan wacana-wacana untuk mengungkapkan atau menegaskan keberadaannya identitasnya. Keberadaan the other, adalah sebuah pembanding, aku adalah aku karena aku bukan kamu. Yang menarik adalah kecenderungan manusia menggambarkan the other sebagi entitas yang lebih kuat daripada diri manusia sendiri. Kita tau bahwa ketika manusia terutama orang-orang Eropa memulai ekspansi, mereka menciptakan pemisahan dunia Barat (self) dan Timur (other) dengan meng-inferior kan Timur sebagai liyan. Dengan menginferiorkan liyan maka berarti akan lebih mudah menaklukkannya. Sedangkan yang cenderung terjadi pada imajinasi-imajinasi tentang alien adalah mereka seolah meng-superiorkan sang liyan dengan memberikan imaji yang sophisticated, berteknologi canggih, ilmu pengetahuan yang lebih luas, dan usia peradaban yang lebih lama, sehingga meletakkan manusia seolah sebagai peradaban spesies amatiran.

Kecenderungan karya-karya yang boleh dibilang fantastic science fiction ini diawali dengan kesuksesan novel H.G. Wells, The War of the Worlds (1898)[5]. Memang saat itu adalah saat ketika revolusi mesin-mesin industry mengalami perkembangan penemuan, sehingga mungkin imajinasi mengenai mesin yang dapat bergerak seperti manusia atau bahkan teknologi yang lebih canggih cenderung menghantui imajinasi manusia. Saya teringat seri film Transformers, terutama yang keempat Age of Extinction yang menceritakan bahwa manusia pada awalnya mempelajari, mengadaptasi, dan memanfaatkan teknologi alien  serta menerapkannya pada peralatan sehari-hari sebelum pada akhirnya manusia benar-benar menguasai dan dapat mengontrol alien. Melihat kasus seperti ini seolah-olah manusia menciptakan dan menaklukkan sendiri imajinasi mengenai sang liyan yang powerful. Hal ini seolah meletakkan kembali manusia pada tangga peradaban yang tinggi, dengan intelektualitas yang bahkan lebih tinggi dari alien yang peradabannya sudah jauh lebih tua daripada manusia.


Memang, keunggulan manusia sebagai subjek akan tetap superior meskipun ia menggambarkan superioritas objek liyan. Bagaimanapun juga, se-canggih dan sekuat-kuatnya alien digambarkan, manusia akan tetap membunuhnya, membunuh karakter alien untuk mengukuhkan posisinya sebagai subjek, the self, untuk menciptakan citra dirinya yang lebih tinggi dari citra sebelum ia mampu menguasai si alien. Semacam orgasme pemenuhan identitas, alien adalah sperma, kepuasan yang berhasil disisihkan dengan kenikmatan. Atau jangan-jangan alien yang hadir dalam Encounters yang kemudian membawa dampak buruk, demonic, lust, dsb hanya merupakan kambing hitam untuk menyalahkan entitas yang tak nyata akan keburukan-keburukan manusia sebagaimana tergambar dalam foto-foto Rony pada chapter post-encounter, hasrat seksual, judi, madness, dsb. Dengan demikian errors pada kemanusiaan (humanity) tak lagi disalahkan, menjadi mutlak mulia.

Pada akhirnya ruang yang dulunya hanya dalam imajinasi, dipertemukan dalam buku ini, mencairkan batas-batas, sehingga satu sama lain saling berkontestasi. Entah apa itu membawa perkembangan positif bagi manusia, atau malah hanya sebuah kambing hitam atas kesalahan-kesalahan kemanusiaan. Yang pasti kekhawatiran kecil akan keterasingan dan ancaman itu masih menyalak dalam gonggongan anjing bertaring tajam di akhir ‘pertemuan' ini [6].



11 October, 2014





[1] Sang Asing dengan huruf Kapital, ketika esensinya ‘beyond human’
[2] sang asing non-kapital, ketika ia tidak lagi asing bagi manusia, bahkan ia sudah dipahami, dipelajari, dimengerti, dan bahkan dikuasai oleh manusia.
[3] Lihat foto ke-7, yang menurut saya adalah wajah ‘adaptasi’ Sang Asing di dunia manusia.
[4] Foto ke-16. wajah Sang Asing tidak ditampilkan, namun manusia tetap tertunduk padanya. Kekuatan persona Sang Asing seolah hegemonik, disetarakan seperti Tuhan yang sama-sama samar, misterius, dan kemisteriusannya menciptakan ketertundukan.
[5] Bruce Sterlings, Alien Encounters. Artikel britanica
[6] Baca: ENCOUNTERS, saya berharap menulisnya dalam bahasa inggris sehingga penutupnya akan sok Wah! at the end of this Encounters, menggabungkan encounters yang literal dan yang kontekstual dalam buku ini :)