Wednesday, October 14, 2009

pagi ini kuantar ayahku ke medan perang


Jam alarm telah berteriak teriak mengoyak ngoyak telingaku, berteriak sekeras kerasnya untuk memberitahuku bahwa adzan subuh kurang begitu tegas dan kuat untuk dapat membukakan mataku. Aku tak acuh mendengar mereka, para perusak tidur, aku membiarkanya terus berteriak, aku berpura pura menjadi orang tuli, dan terlebih lagi, aku berpura pura tidak menjadi orang islam dengan mengacuhkan panggilan bilal yang melafalkan bahasa asing dari timur tengah yang disebut “adzan” itu. Sampai akhirnya ayahku, membangunkanku dengan hanya berkata “nak, tangi! Antarkan aku!”. Aku terperanjat,.. dan kuingat bahwa kemarin malam aku berjanji untuk mengantarkanya pergi ke medan perang.

Aku terbangun, menyia nyiakan waktu tidurku yang masih tersisa sekitar 2jam. Ayahku berkata “pakai peralatanmu, berlengkap diri lah!, aku mau solat subuh dulu!”. Beliau kemudian mengambil wudhu dan menunaikan ibadah sholatnya, dan aku sibuk mencari jaket anti peluruku dan menyiapkan kendaraan untuk mengantarkan ayahku. Beberapa menit kemudian kulihat ia sudah siap berangkat, ia memakai baju tipis yang tembus angin, kemeja berlengan panjang yang tak akan membuatnya bertahan oleh serangan angin sekecil apapun, celana kain biasa yang ketika angin menyapa dia akan sedikit merintih merasakan dingin nya pagi ini, kurasa sebutir peluru akan dapat dengan mudah menembus kulit dan dagingnya. Dia tak memakai sepatu perangnya, yaaah inilah seragam setiap hari yang ia pakai untuk berperang. Dia tak juga mambawa senjata berat, dia hanya membawa beberapa senjata ringan dan beberapa butir peluru yang ia letakkan di tas kecilnya, tas yang dulunya pernah kupakai untuk menuntut pendidikan di sekolah, tas yang belakangan ini kubuang dan kutaruh di gudang karena sudah jebol dan tidak layak pakai. Rupanya ayahku mengambilnya dan menjahitnya kembali agar bisa ia pakai untuk berperang. Dan aku, telah mendapatkan tas baru sementara ayahku hanya memakai tas seadanya.

Ia memberikan beberapa lembar uang kapadaku, “ini le, buat sekloahmu,..buat ibu belanja juga!, sampaikan salamku pada ibumu” ibuku rupanya sudah berangkat ke musola, solat berjamaah disana. Melihat uang itu, aku teringat isi meja dapur yang beberapa hari ini telah kosong, hanya ada nasi dan beberapa piring bekas lauk yang sudah tak ada lagi lauknya, yaaah beberapa hari ini tak ada cukup makanan untuk dimakan, aku pun biasanya pulang malam dan langsung tidur untuk melupakan rasa laparku, kulihat tiap malam ibuku juga telah tertidur, mungkin beliau juga menghindari rasa lapar yang merobek robek perut. Aku juga teringat pada beberapa temanku yang belakangan ini menagih uang buku karena aku hutang untuk mencopy beberapa buku untuk sekolahku, beberapa hari ini aku hanya bisa mengucap “maaf aku masih belum punya uang, mungkin kalau bisa besok segera kubayar”. Menerima uang itu rasanya gembira sekali, kuucap rasa beribu ribu terimakasihku kepadanya lewat tundukan kepalaku dan senyum kecilku, mulutku terlalu sombong dan angkuh untuk mengucapkan secuil kata “terimakasih” sungguh aku adalah anak yang durhaka, terlebih lagi karena beberapa hari ini aku sempat jengkel kepada ayahku karena belum juga bisa memberikan biaya untuk hidup, sumpahh,..aku adalah anak yang kurang ajar!!

Kami berangkat, kubawa ia ke tempat para berkumpulnya pasukan pasukan lain yang siap diangkut untuk ditempatkan di medan medan perang di berbagai pelosok negeri. Kulewati jalan yang berdebu sedingin salju,.. beberapa truk besar ikut lewat membawa beberapa pasukan, ada juga yang membawa bahan bahan perang,..kami melawati jalanan itu, tanpa berbekal senjata, tanpa takut resiko tertembak di perjalanan. Kita tak bertemu seorangpun yang kita kenal, sampai pada akhirnya kita sampai di kantor, tempat pemberangkatan para pasukan. Ini adalah saat untuk melepas ayahku, dia kembali berkata “jangan lupa uangnya kau pakai untuk sekolah juga”, kujawab kata kata terakhirnya itu dengan kata “iya” dan kemudian kucium tangannya tanda aku akan melapaskanya pergi,. Ia pun segera bergegas menuju kantor termpat berkumpulnya para prajurit, orang orang yang meninggalkan orang yang dicintainya, orang yang pergi sebagai harapan para sanak keluarga, orang yang ketika berangkat akan sangat dirindukan dan bisa membuat sedih anggota keluarganya, orang yang sangat diharapkan untuk cepat kembali, dan orang yang ketika sekembalinya nanti akan dihadiahi senyum gembira dan tetesan air mata sebagai wujud terimakasih kepada sang pencipta karena teah mengembalikanya.

Kulihat ayahku dengan tegas bergegas menuju sebuah kantor yang hanya diterangi lampu neon itu, dia berjalan dengan tegas, menyatakan bahwa ia siap mati dan juga siap berjuang untuk keluarganya, untuk dua anaknya yang sedang tertidur di rumah dan lagi lagi melupakan solat subuhnya, untuk satu anaknya yang bersedia mengantarkanya sampai sejauh ini, dan untuk seorang wanita yang oleh anak anaknya dipanggil dan disebut sebagai “ibu”, untuk seorang wanita yang telah menjadikanya seorang ayah. Dan dia pergi, menjauh, menuju sebuah medan di negeri antah berantah, kau tau?,.. tak membawa senjata,.. karena yang dibawa didalamnya hanya sebutir peluru,.. sedangkan senjatanya, kubawa pulang, katanya “untuk jaga jaga kau di jalan”,.. tak seharusnya kulepas ayahku kesana, bukankan seharusnya aku yang berangkat kesana?
Dia sempat menoleh, berpaling kepadaku,..

Tak tau kata apa yang tersirat ketika dia menoleh kebelakang dan menatapku kembali yang masih menunggunya,.. namun yang pasti, mungkin dia akan pulang nanti malam,. Dan kuharap dia pulang nanti malam


Aku pergi, pulang, dan sesampainya dirumah akan kutunaikan solat subuh yang telah tertunda beberapa hari ini.


(sebuah refleksi)