Sebetulnya, karena beberapa minggu ini saya telah,
sedang, dan masih bergelut dengan masalah pelik mengenai ruang (space), maka saya sempatkan menulis
beberapa catatan mengenai ruang pertemuan yang ditawarkan Rony dalam buku
fotonya, Encounters. Awalnya sih dulu
ketika pertama menikmati buku foto ini saya cukup bingung dengan metafora
visual yang disajikan oleh Rony, karena sebuah pertemuan (yang umumnya lebih
bahagia dari perpisahan) ditampilkan seolah-oleh menjadi sesuatu yang mencekam,
sangat-sangat asing, misterius, dan menakutkan (yang saya kira adalah efek ‘misteriusisasi’,
yang tidak diketahui itu menakutkan karena belum difikirkan antisipasinya)
Saya melihat bahwa beberapa respon ruang mengenai
perjumpaan dengan Sang Asing (Liyan)[1]
dalam narasi-narasi visual buku foto ini. Pertama yaitu perjumpaan awal dengan Sang Asing ketika keasingan begitu mencekam, kedua ketika
Sang asing mulai menampakkan wujudnya, ketiga yaitu ketika Sang Asing bukan
lagi sang asing[2].
Dalam foto selanjutnya, Rony mencoba memberikan
rasa nyaman tentang keberadaan Sang Asing di dunia manusia, meskipun ruang yang
ditinggali manusia tak lagi sama, namun kenyamanan hadir ketika Sang Asing
digambarkan tidak jauh berbeda dengan manusia[3].
Sang Asing yang beradaptasi merupakan respon terhadap ruang baru, identitasnya
tersamarkan, tak lagi berwujud asli. Setelah cukup menghibur dengan berbagai
visual yang nyaman itu ia megaskan kembali batas-batas antara sang asing lewat
foto pipa besar di pantai, antara manusia dan kekosongan (ketidakberwujudan)
dalam bayangan. Bahwa dalam wacana multi-identitas tersebut, masih ada
jejak-jejak identitas yang memisahkan antara manusia dan Sang Asing. Seakan
mengesankan bahwa masih ada batas-batas yang subtil namun pasti. Antara manusia
dan Sang Asing perbedaan itu abstrak. Mereka berada dalam satu ruang dan
masing-masing dari mereka saling beradaptasi, berkontestasi, berdialektis
dengan ruang tersebut.
Dalam Chapter kedua, yang menjadi titik tolak dari
konflik-konflik perjumpaan antara manusia dan Sang Asing adalah foto kaktus
berwajah manusia dan seterusnya. Dari foto-foto tersebut seolah Sang Asing
mencoba menampakkan wujud aslinya, dan itu merupakan titik tolah sebuah
perubahan besar yang akan terjadi. Narasi-narasi yang hadir dalam foto ini
bersifat chaotic, kacau, menekankan
batas-batas yang telah hancur akibat hadirnya Sang Asing. Tidak seperti
foto-foto sebelumnya yang menggambarkan adaptasi dan dialektka ruang, foto-foto
selanjutnya menggambarkan perubahan-perubahan yang terjadi karena kehadiran
Sang Asing. Lihat saja foto eksekusi manusia, salib patah diantara jemaah yang
sedang bersembahyang, ketertundukan manusia (akan entitas yang bahkan tidak
hadir[4]),
dan erotic yang ‘kosong’ di foto selanjutnya. Sang Asing bisa dianggap
menggantikan Tuhan, lihat foto salib yang patah. Dampak perjumpaan manusia dan
Sang Asing merusak segala ajaran kepercayaan, mengisaratkan bahwa entitas
kekuatan Sang Asing lebih ‘nyata’ daripada Tuhan karena ia telah hadir dan
keberwujudan Tuhan masih absen, salib sebagai simbol Tuhan yang ter-rusak-kan.
Chapter ketiga adalah era post-encounters, sebagai dunia baru yang lahir hasil dari
persilangan identitas antara manusia dan Sang Asing. Manusia mulai menyatu
dengan sang asing, yang seolah menjadikannya tidak asing lagi. Bahkan hal itu
dirayakan dengan carnival bersama-sama antara manusia dengan sang asing. Lihat
foto manusia yang terjun bersama orang utan, dari foto itu ingat-ingatlah
kembali foto monyet yang awalnya menyalak seram pada sampul halaman kini
menjadi sangat familiar dengan manusia. Bahkan mereka berpesta bersama,
berkarnaval, bersama-sama menceburkan diri dalam air, simbol ketercairan,
sebagai ritual penyatuan, pencairan identitas diri antara manusia dan sang
asing. yang terjadi dalam foto-foto selanjutnya adalah bersatunya dua entitas,
antara manusia dan yang dulunya asing. Bentuk-bentuk bersatunya kedua entitas
tersebut nyatanya tidak merubah aura foto-foto Rony yang tetap mencekam dengan
hitam, namun malah mengadaptasi kekelaman tersebut dan menjadikannya seolah-olah
sebagai kekelaman yang alami, manusiawi. Ruang baru ini membawa kedua semangat
dari diri dan sang asing yang bertemu, keterasingan yang familiar.
Yang perlu saya garis bawahi mengenai imajinasi
tentang yang asing sebenarnya bahwa ia tidak pernah menjadi asing, atau bahkan
sang asing tersebut sebenarnya tidak pernah nyata. Imajinasi-imajinasi manusia
akan sang liyan sebenarnya adalah hasrat untuk memenuhkan identitas, dimana
keutuhan identitas tersebut tidak akan pernah tercapai. Sehingga kemudian
manusia mulai menciptakan wacana-wacana untuk mengungkapkan atau menegaskan
keberadaannya identitasnya. Keberadaan the
other, adalah sebuah pembanding, aku adalah aku karena aku bukan kamu. Yang
menarik adalah kecenderungan manusia menggambarkan the other sebagi entitas yang lebih kuat daripada diri manusia
sendiri. Kita tau bahwa ketika manusia terutama orang-orang Eropa memulai
ekspansi, mereka menciptakan pemisahan dunia Barat (self) dan Timur (other)
dengan meng-inferior kan Timur sebagai liyan. Dengan menginferiorkan liyan maka
berarti akan lebih mudah menaklukkannya. Sedangkan yang cenderung terjadi pada
imajinasi-imajinasi tentang alien adalah mereka seolah meng-superiorkan sang
liyan dengan memberikan imaji yang sophisticated,
berteknologi canggih, ilmu pengetahuan yang lebih luas, dan usia peradaban yang
lebih lama, sehingga meletakkan manusia seolah sebagai peradaban spesies
amatiran.
Kecenderungan karya-karya yang boleh dibilang
fantastic science fiction ini diawali dengan kesuksesan novel H.G. Wells, The War of the Worlds (1898)[5].
Memang saat itu adalah saat ketika revolusi mesin-mesin industry mengalami
perkembangan penemuan, sehingga mungkin imajinasi mengenai mesin yang dapat
bergerak seperti manusia atau bahkan teknologi yang lebih canggih cenderung
menghantui imajinasi manusia. Saya teringat seri film Transformers, terutama yang keempat Age of Extinction yang menceritakan bahwa manusia pada awalnya
mempelajari, mengadaptasi, dan memanfaatkan teknologi alien serta menerapkannya pada peralatan
sehari-hari sebelum pada akhirnya manusia benar-benar menguasai dan dapat
mengontrol alien. Melihat kasus seperti ini seolah-olah manusia menciptakan dan
menaklukkan sendiri imajinasi mengenai sang liyan yang powerful. Hal ini seolah
meletakkan kembali manusia pada tangga peradaban yang tinggi, dengan
intelektualitas yang bahkan lebih tinggi dari alien yang peradabannya sudah
jauh lebih tua daripada manusia.
Memang, keunggulan manusia sebagai subjek akan
tetap superior meskipun ia menggambarkan superioritas objek liyan. Bagaimanapun
juga, se-canggih dan sekuat-kuatnya alien digambarkan, manusia akan tetap
membunuhnya, membunuh karakter alien untuk mengukuhkan posisinya sebagai subjek,
the self, untuk menciptakan citra
dirinya yang lebih tinggi dari citra sebelum ia mampu menguasai si alien.
Semacam orgasme pemenuhan identitas, alien adalah sperma, kepuasan yang
berhasil disisihkan dengan kenikmatan. Atau jangan-jangan alien yang hadir
dalam Encounters yang kemudian membawa dampak buruk, demonic, lust, dsb hanya merupakan kambing hitam untuk menyalahkan
entitas yang tak nyata akan keburukan-keburukan manusia sebagaimana tergambar
dalam foto-foto Rony pada chapter post-encounter,
hasrat seksual, judi, madness, dsb. Dengan demikian errors pada kemanusiaan (humanity)
tak lagi disalahkan, menjadi mutlak mulia.
Pada akhirnya ruang yang dulunya hanya dalam
imajinasi, dipertemukan dalam buku ini, mencairkan batas-batas, sehingga satu
sama lain saling berkontestasi. Entah apa itu membawa perkembangan positif bagi
manusia, atau malah hanya sebuah kambing hitam atas kesalahan-kesalahan
kemanusiaan. Yang pasti kekhawatiran kecil akan keterasingan dan ancaman itu
masih menyalak dalam gonggongan anjing bertaring tajam di akhir ‘pertemuan' ini [6].
11 October, 2014
[1]
Sang Asing dengan huruf Kapital, ketika esensinya ‘beyond human’
[2]
sang asing non-kapital, ketika ia tidak lagi asing bagi manusia, bahkan ia
sudah dipahami, dipelajari, dimengerti, dan bahkan dikuasai oleh manusia.
[3]
Lihat foto ke-7, yang menurut saya adalah wajah ‘adaptasi’ Sang Asing di dunia
manusia.
[4] Foto
ke-16. wajah Sang Asing tidak ditampilkan, namun manusia tetap tertunduk
padanya. Kekuatan persona Sang Asing seolah hegemonik, disetarakan seperti
Tuhan yang sama-sama samar, misterius, dan kemisteriusannya menciptakan
ketertundukan.
[5]
Bruce Sterlings, Alien Encounters. Artikel
britanica
[6]
Baca: ENCOUNTERS, saya berharap menulisnya dalam bahasa inggris sehingga
penutupnya akan sok Wah! at the end of
this Encounters, menggabungkan encounters yang literal dan yang kontekstual
dalam buku ini :)