Tuesday, May 1, 2012

Kerutan Wajah Tua Budaya Indonesia.


Gempa gempita lifestyle dan budaya modern yang merebak luas di kalangan masyarakat  tentunya mengakibatkan pergeseran dan erosi internal budaya nusantara. Gaya hidup kebarat-baratan atau modern yang dibilang up-to-date tentu akan lebih menarik untuk diikuti oleh kalangan masyarakat terutama para remaja yang sedang ‘galau’ mencari mode. Predikat ‘keren, cool, dan gaul’ pun akan menempel seperti perangko pada  western lifestyle daripada budaya kita sendiri yang bahkan dianggap ‘katrok, kuno, atau ndeso’. Hal tersebut tak lepas dari pemberdayaan budaya tradisional Indonesia yang pergerakanya kurang ‘surface’ atau lebih ‘underground’ dalam artian tanpa publikasi yang memadai sehingga usaha perberdayaan tradisional tersebut kurang diketahui. Masyarakat pun banyak yang berlari mengejar ide-ide ke-kerenan dan ke-gaulan yang lebih assoyyyy sebagai identitas untuk bergaul dengan sesama kawula muda. Jika kita cermati, pergerakan publikasi sanggar atau grup seni tari di kampung kampung lebih banyak dilakukan secara oral atau dari mulut ke mulut. Tak heran kalau anggota sanggar rata-rata berasal dari sekelumit orang di sekitar sanggar tersebut karena ‘senjata’ publikasi masih menggunakan media tradisional penyebaran folklore yaitu dari mulut ke mulut.







Keberadaan para pecinta dan pemberdaya budaya tradisional Indonesia dalam era modern merupakan mata air mata air kecil bagi lautan budaya nusantara. Pak Suprapto(67), salah satu lakon penari wayang uwong adalah salah satu tokoh yang selama ini menyumbangkan jasa bakti dan cintanya untuk membantu kelestarian budaya nusantara. Dalam usia senjanya Pak Suprapto masih menyempatkan diri untuk tampil dalam panggilan pagelaran wayang uwong dari berbagai Sanggar di Malang. Sudah sekitar 30 tahun lebih ia mengabdikan dirinya untuk bermain dalam pementasan seni. Ketika muda ia mengaku sering berperan sebagai Gatotkaca karena kondisi fisik yang masih sehat dan memungkinkan untuk melakukan atraksi laga, namun dengan kondisi fisik seperti sekarang ia biasa berperan dalam lakon yang tidak melakukan banyak atraksi seperti Sengkunini. Perjalanannya sebagai pemain wayang uwong bisa dibilang cukup unik karena awalnya ia hanya menjadi penarik ‘kelir’ atau background panggung. Karena tertarik akan seni peran dan tari-tarian ia mulai belajar secara otodidak melihat performance dan latihan rekan rekannya yang merupakan maestro di dunia pagelaran seni dan budaya pada sekitar tahun 70an. Sekitar tahun 1974 Pak Prapto muda mulai menjalani lakon pewayangan dan ikut dalam pementasan wayang carukan. Ketika itu ia hanya ikut meramaikan dan membantu peran dalam pementasan, rupanya sensasi panggung membiusnya untuk ikut bermain mengikuti panggilan dari rekan-rekan dekatnya. Ia bercerita panjang lebar tentang perjalanannya menggeluti dunia seni tari dan budaya yang ia gemari dan ia banggakan. Ketika ditanya perihal kecintaanya pada wayang uwong ia dengan sigak dan tegas menjawab “Yo seneng,buktine sampe sekarang…. kulo nggih iso nggawe lagu lagu” jawab ia sambil mendendangkan beberapa lagu berbahasa jawa halus, ber rima cantik dan berpesan tentang nasihat terhadap perilaku manusia terhadap alam.

“akeh tatane akeh nyatane alas gundul longsor lemahe
yuk kabeh wae kayu ing alas dilestarekke
nadyan gunung papane nandur kayu akeh gunane
bapak tani kudu tlaten nandur kayu kudu open
jati lan duren tanduran sak nggen nggen
kabeh podo seneng nyawang wiwitan kang genggeng
ayo podo sregep angen nandur supoyo kabeh biso makmur”

(cuplikan lirik tembang ciptaan Pak Suprapto)


beberapa tembang ciptaan Pak Prapto ia sumbangkan untuk perayaan atau ikut memeriahkan upacara, dari lau Malang kota kembang, Arema Juara, dan lagu untuk ulang tahun Tukang Becak dan banyak tembang ciptaan pak Prapto telah dinyanyikan, namun hanya sebatas tingkat RT/RW dan kelurahan. Dari berbagai pernyataan dan ceritanya yang meng-agung agungkan cantik dan indahnya seni peran, tari, dan tembang, terkesan bahwa jiwa dan raga Pria yang sudah beranak-cucu ini sudah meresap dan menyatu dengan kesenian yang ditekuninya. Bahkan di setiap akhir pekan Pak Suprapto menyempatkan diri mengajar tari di sebuah sanggar di daerah Arjosari. Anggota sanggar yang diampu Pak Prapto pun bermacam macam dari berbagai kalangan dan usia, ada yang masih kecil dan ada juga pecinta tarian yang sudah berumur.

Kecintaannya terhadap budaya nusantara sungguh luar biasa, ketika saya menyempatkan bertanya tentang bagaimana pendapat ia tentang kebudayaan tradisional yang hampir punah ia dengan optimis menjawab, “ndak mungkin, ndak akan punah” ia beranggapan bahwa selama masih ada sekelumit orang-orang pecinta budaya nusantara, kesenian seperti ini tidak akan punah. Masih banyak sanggar sanggar tari di setiap Sekolah Dasar dan Taman Kanak-Kanak yang menanamkan dan mengajarkan bermacam seni tari dan budaya tradisional lainnya. Namun beberapa dari mereka yang beranjak dewasa banyak yang memilih untuk menggeluti kegemaran lain seperti bermain band, paduan suara, atau modern dance. Itu semua karena keahlian seni yang diajarkan ketika semasa SD/TK kurang mendapat perhatian atau kurang lebih jarang dipentaskan. Pementasan budaya yang diisi oleh anak-anak atau kalangan remaja tentunya akan memicu  rasa bangga atas kemampuan seni yang dimiliki. Menurut Ia, masa remaja adalah masa transisi dimana anak-anak akan lebih tertarik dengan hal hal yang dianggap keren, sedangkan budaya nusantara sendiri sering dianggap sebagai keriput tua budaya Indonesia. Ibaratnya anak-anak yang ia didik atau anak-anak di sanggar lain adalah bibit budaya yang harus disirami dengan pupuk budaya juga, supaya tumbuh kembangnya akan menjadi pohon budaya nusantara yang menjadi wadah besar budaya nusantara.


arif furqan 2012.