Gempa
gempita lifestyle dan budaya modern yang merebak luas di kalangan
masyarakat tentunya mengakibatkan pergeseran
dan erosi internal budaya nusantara. Gaya hidup kebarat-baratan atau modern yang dibilang
up-to-date tentu akan lebih menarik untuk diikuti oleh kalangan masyarakat
terutama para remaja yang sedang ‘galau’ mencari mode. Predikat ‘keren, cool,
dan gaul’ pun akan menempel seperti perangko pada western lifestyle daripada budaya kita sendiri
yang bahkan dianggap ‘katrok, kuno, atau ndeso’. Hal tersebut tak lepas dari
pemberdayaan budaya tradisional Indonesia yang pergerakanya kurang ‘surface’
atau lebih ‘underground’ dalam artian tanpa publikasi yang memadai sehingga
usaha perberdayaan tradisional tersebut kurang diketahui. Masyarakat pun banyak
yang berlari mengejar ide-ide ke-kerenan dan ke-gaulan yang lebih assoyyyy sebagai
identitas untuk bergaul dengan sesama kawula muda. Jika kita cermati, pergerakan
publikasi sanggar atau grup seni tari di kampung kampung lebih banyak dilakukan
secara oral atau dari mulut ke mulut. Tak heran kalau anggota sanggar rata-rata berasal dari sekelumit orang di sekitar sanggar tersebut
karena ‘senjata’ publikasi masih menggunakan media tradisional penyebaran
folklore yaitu dari mulut ke mulut.
Keberadaan para pecinta dan pemberdaya budaya
tradisional Indonesia dalam era modern merupakan mata air mata air kecil bagi lautan budaya nusantara. Pak Suprapto(67), salah satu lakon penari wayang uwong adalah
salah satu tokoh yang selama ini menyumbangkan jasa bakti dan cintanya untuk
membantu kelestarian budaya nusantara. Dalam usia senjanya Pak Suprapto masih
menyempatkan diri untuk tampil dalam panggilan pagelaran wayang uwong dari
berbagai Sanggar di Malang. Sudah sekitar 30 tahun lebih ia mengabdikan dirinya
untuk bermain dalam pementasan seni. Ketika muda ia mengaku sering berperan
sebagai Gatotkaca karena kondisi fisik yang masih sehat dan memungkinkan untuk
melakukan atraksi laga, namun dengan kondisi fisik seperti sekarang ia biasa
berperan dalam lakon yang tidak melakukan banyak atraksi seperti Sengkunini.
Perjalanannya sebagai pemain wayang uwong bisa dibilang cukup unik karena
awalnya ia hanya menjadi penarik ‘kelir’ atau background panggung. Karena tertarik akan seni peran dan tari-tarian ia mulai belajar secara
otodidak melihat performance dan latihan rekan rekannya yang merupakan maestro
di dunia pagelaran seni dan budaya pada sekitar tahun 70an. Sekitar tahun 1974 Pak
Prapto muda mulai menjalani lakon pewayangan dan ikut dalam pementasan wayang
carukan. Ketika itu ia hanya ikut meramaikan dan membantu peran dalam
pementasan, rupanya sensasi panggung membiusnya untuk ikut bermain mengikuti
panggilan dari rekan-rekan dekatnya. Ia bercerita panjang lebar tentang
perjalanannya menggeluti dunia seni tari dan budaya yang ia gemari dan ia banggakan.
Ketika ditanya perihal kecintaanya pada wayang uwong ia dengan sigak dan tegas
menjawab “Yo seneng,buktine sampe sekarang…. kulo nggih iso nggawe lagu lagu”
jawab ia sambil mendendangkan beberapa lagu berbahasa jawa halus, ber rima
cantik dan berpesan tentang nasihat terhadap perilaku manusia terhadap alam.
“akeh tatane akeh nyatane alas gundul longsor
lemahe
yuk kabeh wae kayu ing alas dilestarekke
nadyan gunung papane nandur kayu akeh gunane
bapak tani kudu tlaten nandur kayu kudu open
jati lan duren tanduran sak nggen nggen
kabeh podo seneng nyawang wiwitan kang genggeng
ayo podo sregep angen nandur supoyo kabeh biso
makmur”
(cuplikan lirik tembang ciptaan Pak Suprapto)
beberapa tembang ciptaan Pak Prapto ia
sumbangkan untuk perayaan atau ikut memeriahkan upacara, dari lau Malang kota
kembang, Arema Juara, dan lagu untuk ulang tahun Tukang Becak dan banyak
tembang ciptaan pak Prapto telah dinyanyikan, namun hanya sebatas tingkat RT/RW
dan kelurahan. Dari berbagai pernyataan dan ceritanya yang meng-agung agungkan
cantik dan indahnya seni peran, tari, dan tembang, terkesan bahwa jiwa dan raga
Pria yang sudah beranak-cucu ini sudah meresap dan menyatu dengan kesenian yang
ditekuninya. Bahkan di setiap akhir pekan Pak Suprapto menyempatkan diri
mengajar tari di sebuah sanggar di daerah Arjosari. Anggota sanggar yang diampu
Pak Prapto pun bermacam macam dari berbagai kalangan dan usia, ada yang masih
kecil dan ada juga pecinta tarian yang sudah berumur.
arif furqan 2012.