Gempa
gempita lifestyle dan budaya modern yang merebak luas di kalangan
masyarakat tentunya mengakibatkan pergeseran
dan erosi internal budaya nusantara. Gaya hidup kebarat-baratan atau modern yang dibilang
up-to-date tentu akan lebih menarik untuk diikuti oleh kalangan masyarakat
terutama para remaja yang sedang ‘galau’ mencari mode. Predikat ‘keren, cool,
dan gaul’ pun akan menempel seperti perangko pada western lifestyle daripada budaya kita sendiri
yang bahkan dianggap ‘katrok, kuno, atau ndeso’. Hal tersebut tak lepas dari
pemberdayaan budaya tradisional Indonesia yang pergerakanya kurang ‘surface’
atau lebih ‘underground’ dalam artian tanpa publikasi yang memadai sehingga
usaha perberdayaan tradisional tersebut kurang diketahui. Masyarakat pun banyak
yang berlari mengejar ide-ide ke-kerenan dan ke-gaulan yang lebih assoyyyy sebagai
identitas untuk bergaul dengan sesama kawula muda. Jika kita cermati, pergerakan
publikasi sanggar atau grup seni tari di kampung kampung lebih banyak dilakukan
secara oral atau dari mulut ke mulut. Tak heran kalau anggota sanggar rata-rata berasal dari sekelumit orang di sekitar sanggar tersebut
karena ‘senjata’ publikasi masih menggunakan media tradisional penyebaran
folklore yaitu dari mulut ke mulut.
"mulailah mendengar, membaca, melihat, lalu bercerita, menulis, dan memotret" -- af
Tuesday, May 1, 2012
monolog dengan keluhan.
Malam ini aku ndak bisa turu
Kamu diam saja disitu dimeja kamarku
Terpenjara rapi dalam bingkai murahan
yang kubeli tiga tahun lalu
Kamu tau ndak,nyamuk nyamuk disini lagi arisan
Menunggu aku tidur untuk sarapan
Ada yg main serobot guatel, gak sopan!!
Eh Tuan mana Tuan
Padahal aku dulu minta kamu
Dikirim cantik rupawan
Yang nyampai disini cuma fotomu
Sedangkan sisanya rapi terbungkus
dibawah batu nisan
dibawah batu nisan
Subscribe to:
Posts (Atom)