Thursday, September 6, 2012

Tradisi yang Patah!

Sejak beberapa tahun lalu setiap awal bulan Agustus hati saya selalu berdebar-debar menyambut kejutan dan sajian apa yang ada pada HUT-RI 17 Agustus nantinya. Namun selalu saja yang saya harapkan tak terjawab, sudah lebih dari ‘beberapa’ tahun ini tak ada kegiatan atau perayaan apapun memperingati hari ulang tahun proklamasi negeri ini. Saya sampai lupa Tradisi baru untuk tidak meramaikan HUT-RI sudah dimulai sejak kapan.

Ritual rakyat yang semenjak 67 tahun lalu kini bagai goresan tinta yang terkoyak penghapus biru merah kasar. Saya kaget ketika menegok perkumpulan adu celoteh burung biru, HUT-RI 67 menjadi trending topic  yang ramai dan menggelegar. Tak henti-hentinya rekan dan kerabat yang tergabung dalam perkumpulan burung biru menyampaikan celoteh dan ocehan kosong merdu tentang merah putih, bendera yang ditegakkan dengan darah dan keringat pejuang. Pujian demi pujian dilantunkan lewat nada tak bersuara, dikemas dalam huruf dan kata yang terkurung dalam paket 140 karakter. Pastinya tak akan muat naskah proklamasi dalam media berbatas seperti ini sehingga harus disambung-sambung. Sedangkan celoteh dan ocehan semakin ramai berisi karakter tanpa suara yang nyata, tak terdengar menggelegar walaupun sudah dipaksa memakai huruf kapital. 


17 Agustus masa kecilku tak seheboh fenomena world trending topic pada tahun ini. Namun lebih berkesan karena mengingatkanku akan beberapa kebodohan dan kekonyolan masa kecil. Lagu wajib kemerdekaan jaman sekarang hanya dinyanyikan oleh pita rekaman, bisa diulang ulang tanpa bikin serak ternggorokan. Suara teriakan kemerdekaan sekarang terkesan membisu dalam huruf yang berselancar bebas di dunia maya. Padahal dulunya Ibu-ibu sampai rela rumahnya diobok-obok maling karena asik menyimak karnaval menanti anaknya yang kecil bercapek-capek ria tiga kali berkeliling desa mengenakan seragam jendral. Anak-anak kecil ingusan berbahagia karena tampil cakep apalagi dapat kesempatan naik becak hias gratis. Bahkan gadis pemalu kembang desa sampai rela keluar hanya setahun sekali ingin menyaksikan tingkah konyol lelaki yang sering menggodanya dibungkus kain kafan meloncat berkeringat di sepanjang jalan raya.

Masa kini masa lalu, rasanya Indonesia hanyalah negeri di khayalan yang tercetak di peta atlas dunia maya. Sepertinya sebagai mahluk yang nyata,  tujuan dan aktifitas manusia semakin FANA di-semu-kan dengan berbagai kecanggihan teknologi. Beberapa waktu lalu saya diperkenalkan oleh rekan saya dengan istilah “slacktivism” yaitu aktifitas ber-opini atau bersuara melalui media jejaring sosial. Entah apakah ini yang merubah kecenderungan generasi kita. Waktu dan partisipasi kita banyak diwujudkan melalui huruf dan karakter semata tanpa terdengar teriakan yang menggetarkan hati layaknya seperti teriakan lawas kemerdekaan  yang terdengar dari Sabang sampai Merauke.


Di jaman yang serba sulit ini semuanya semakin gampang. Ndak usah lagi karnaval dan berkostum pocong atau bencong seperti masa kecilku dulu, ndak perlu lagi nyusun kaset dubbing untuk pentas opera 17an, ndak perlu lagi capek capek rapat karang taruna. Sekarang rakyat sudah punya tradisi baru untuk tidak lebay dan galau dengan kemerdekaan yang sudah kadaluarsa di umurnya yang 67 tahun ini. Mungkin sekarang rakyat saatnya move on dengan problema Ibu pertiwi yang tak kunjung menemukan Bapak pertiwi sebagai imam yang akan menuntun menjadi Negeri yang sakinah mawaddah warohmah.